Kamis, 18 Juni 2009

PENGEMBANGAN PARIWISATA BALI DI MASA DEPAN MENUJU PARIWISATA BERKELANJUTAN

PENGEMBANGAN PARIWISATA BALI DI MASA DEPAN MENUJU PARIWISATA BERKELANJUTAN

http://www.nieuwsvanbali.nl/content/content/toerisme,%20tabananN_files/image008.jpgBali merupakan daerah tujuan wisata yang sangat digemari sejak jaman pemerintahan Belanda. Sejak jaman tersebut Bali mulai didatangi oleh orang asing. Mereka datang ada yang sebagai wisatawan dan juga sebagai pemerhati budaya. Budaya Bali terkenal dengan keunikannya dan sudah dikenal sampai tingkat internasional, sehingga ada pendapat yang mengatakan bahwa Bali merupakan daerah pariwisata yang menonjolkan kebudayaannya. Melalui berbagai media Bali dipromosikan ke seluruh manca negara baik melalui media elektronik maupun dari cerita-cerita yang dibawa oleh wisatwan yang pernah datang ke Bali. Kekaguman para wisatawan asing akan Bali menggugah mereka untuk memberi gelar, istilah ataupun nama lain terhadap Bali seperti: The Island of God, The Island of Paradise, The Island of Thousand Temples dan lain sebagainya.

Sejak tahun 1930 Bali sudah menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang mengarah pada kegiatan pariwisata. Terbukti dengan didirikannya salah satu sarana akomodasi di jantung kota Denpasar yang berupa hotel tempat menampung wisatawan yang berkunjung. Namun kegiatan pariwisata sempat terhenti akibat adanya perang dunia ke II antara tahun 1942-1945 yang kemudian disusul dengan perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan hingga tahun 1949. Pertengahan tahun 50-an pariwisata Bali mulai tertata kembali dan pada tahun 1963 dibangun hotel Bali Beach (The Grand Bali Beach Hotel) di pantai Sanur dengan bangunan berlantai sepuluh. Hotel ini adalah satu-satunya hotel yang berbentuk bangunan tinggi sedangkan sarana hunian wisata lain yang berkembang hanyalah bangunan berlantai satu. Pada pertengahan tahun70-an pemerintah daerah Bali mengeluarkan peraturan daerah yang mengatur ketinggian bangunan maksimal 15 meter. Penetapan ini ditentukan dengan mempertimbangakan faktor budaya dan tata ruang tradisional Bali sehingga Bali tetap memiliki nilai-nilai budaya. Sejak dioperasikannya hotel Bali Beach tersebut, pembangunan sarana hunian wisata berkembang pesat. Dari segi kualitas Sanur berkembang relatif lebih terrencana karena berdampingan dengan hotel Bali Beach, sedangkan kawasan Pantai Kuta berkembang secara alamiah termasuk kawasan Ubud, Gianyar yang menonjolkan wisata pedesaan. Diikuti dengan pembangunan sarana hunian wisata di Nusa dua serta di daerah-daerah lain seperti kawasan Badung, Denpasar maupun Gianyar.

Sebagai akibat dari perkembangan kunjungan wisatawan, berbagai sarana penunjang pariwisata mulai didirikan seperti restoran, artshop, pasar seni, pusat hiburan, dan tempat rekreasi mulai tumbuh dengan pesat di pusat hunian wisata ataupun di kawasan obyek wisata. Sehingga para wisatawan memiliki berbagai pilihan dalam menikmati liburan mereka di Bali. Hunian wisata merupakan salah satu sarana akomodasi dalam sektor pariwisata dan sarana akomodasi tersebut merupakan industri yang menggerakkan pariwisata di Bali. Industri pariwisata adalah salah satu faktor penting yang memegang peranan dalam memajukan pariwisata di bali. Sejak tahun 90-an sampai sekarang Bali sudah mengalami perubahan ynag sangat cepat.

Pembangunan sarana hunian wisata yang berkelas internasional akhirnya dimulai dengan pengembangan kawasan Nusa Dua menjadi resort wisata Internasional. Dikelola oleh Bali Tourism Development Corporation, suatu badan bentukan pemerintah, kawasan Nusa Dua dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata bertaraf internasional. Beberapa operator hotel masuk kawasan Nusa Dua sebagai investor yang pada akhirnya kawasan ini mampu mendongkrak perkembangan pariwisata Bali.

Masa-masa berikutnya, sarana hunian wisata lalu tumbuh dengan sangat pesat di pusat hunian wisata terutama di daerah Badung, Denpasar, Gianyar, Kawasan Pantai Kuta, Jimbaran, Ungasan menjadi kawasan hunian wisata di Kabupaten Badung, Sanur, dan pusat kota untuk kawasan Denpasar. Ubud, Kedewatan, Payangan, dan Tegalalang menjadi pengembangan hunian wisata di daerah Gianyar.

Mengendalikan perkembangan yang amat pesat tersebut, pemerintah Daerah Bali kemudian menetapkan 15 kawasan di Bali sebagai daerah hunian wisata berikut sarana penunjangnya seperti restoran dan pusat perbelanjaan. Hingga kini, Bali memiliki lebih dari 35.000 kamar hotel terdiri dari kelas Pondok Wisata, Melati, hingga Bintang 5. Sarana hotel-hotel tersebut tampil dalam berbagai variasi bentuk mulai dari model rumah, standar hotel, villa, bungalow, dengan variasi harga jual. Keberagaman ini memberi nilai lebih bagi Bali karena menawarkan banyak pilihan kepada para wisatawan.

Sebagai akibat dari perkembangan kunjungan wisatawan, berbagai sarana penunjang seperti misalnya: restoran, art shop, pasar seni, sarana hiburan, dan rekreasi tumbuh dengan pesat di pusat hunian wisata ataupun di kawasan obyek wisata. Para wisatawan yang berkunjung ke Bali, akhirnya memiliki banyak pilihan dalam menikmati liburan mereka di Bali, akhirnya organisasi kepariwisataan seperti PHRI (IHRA), ASITA, dan lembaga kepariwisataan lain di Bali, yang secara professional mengelola dan memberi layanan jasa pariwisata, seakan memberi jaminan untuk kenyamanan berwisata di Bali (Anonim, 2008).

Pesatnya pertumbuhan pembangunan untuk kepentingan perumahan dan industri pariwisata, hotel, villa. bungalow, dan sarana kegiatan olah raga air di hampir semua kawasan pesisir di Bali telah mengakibatkan tekanan-tekanan terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat, sumber daya alam (air, udara, dan tanah), dan ekosistem yang ada di sekitarnya (Anonim, 2008).

Kehidupan sosial budaya masyarakat sudah semakin terkikis seiring dengan derasnya laju pembangunan pariwisata. Budaya-budaya asli (indigenous culture) masyarakat yang hidup di sepanjang pesisir hampir seluruh pelosok Bali seperti nelayan, pembuat garam, pencari kerang dan batu karang, serta petani rumput laut sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat karena dianggap kurang menjanjikan kesejahteraan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut tidak terlepas dari manisnya kata “pariwisata” yang beriming-iming dollar. Namun tanpa mereka sadari bahwa pariwisata secara perlahan telah merubah pola, gaya, dan perilaku hidupnya sehingga seringkali terjerumus ke dalam “noda hitam” pariwisata.

Ada anggapan bahwa pariwisata Bali telah berada pada titik stagnasi dapat kita lihat dari indikator tingkat kunjungan wisatawan asing ke Bali yang cenderung menunjukkan angka yang stagnan bahkan beberapa tahun sebelumnya sempat menurun. Para praktisi pariwisata dan juga pemerintah daerah rupanya juga telah mengetahuinya. Namun sayang, kebijakan yang diambil masih terlihat bersifat sementara dan kurang menyeluruh untuk pembangunan pariwisata yang berkesinambungan. Sebut saja misalnya, praktisi hotel di Bali cenderung mengobral harga kamarnya ketimbang penyelamatan kualitas destinasi pariwisata ke depan. Kita bisa bayangkan, karena masih banyak sumber daya yang digunakan pada dunia perhotelan masih disubsidi. Sebut saja misalnya energi listrik, air, dan juga tenaga kerja yang harus rela bekerja lebih keras karena tamu meningkat oleh sebab kamar diobral namun gaji tidak terlalu banyak bertambah. Lebih parah lagi jika wisatawan diarahkan hanya tinggal di hotel, sehingga kontak dengan obyek wisata dan juga masyarakat lokal akan berkurang. Akhirnya dampak pengganda untuk ekonomi masyarakat lokal akan dirasakan sangat kecil. Semua indikator ini menunjukkan bahwa kita berada pada titik kebingungan dan cenderung mengambil kebijakan yang bersifat sesaat (Utama, 2008)

Meningkatnya kualitas destinasi haruslah dilakukan sebagai usaha menyeluruh bagi semua elemen produk wisata, dari transportasi, hotel, restoran, objek wisata, dan tentu juga pelayanan yang baik kepada wisatawan. Kalau wisatawan merasa takut melakukan perjalanan ke Bali dengan alasan keselamatan penumpang tidak terjamin, artinya kita harus meningkatkan kualitas transportasi yang ada. Kalau hotel sepi wisatawan ini merupakan efek domino dari persoalan yang lain karena wisatawan datang ke Bali tidak hanya untuk tinggal di hotel saja. Bagaimana wisatawan mau datang ke Bali jika obyek wisata dan komponen lainnya tidak sesuai dengan harapan wisatawan. Taman kota yang tidak terawat dan langkanya ruang hijau terbuka juga memperburuk kesan kota (Utama, 2008).

Menurut Bater et. al. (2001) dalam Anonim (2006), pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dapat dikenali melalui prinsip-prinsipnya yang dielaborasi berikut ini. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: partisipasi, keikutsertaan para pelaku (stakeholder), kepemilikan lokal, penggunaan sumber daya secara berkelanjutan, mewadahi tujuan-tujuan masyarakat, perhatian terhadap daya dukung, monitor, dan evaluasi, akuntabilitas, pelatihan, serta promosi.

1. Partisipasi

Masyarakat setempat harus mengawasi atau mengontrol pembangunan pariwisata dengan ikut terlibat dalam menentukan visi pariwisata, mengidentifikasi sumber-sumber daya yang akan dipelihara dan ditingkatkan, serta mengembangkan tujuan-tujuan dan strategi-strategi untuk pengembangan dan pengelolaan daya tarik wisata. Masyarakat juga harus berpartisipasi dalam mengimplementasikan strategi-strategi yang telah disusun sebelumnya.

2. Keikutsertaan para pelaku (stakeholder involement)

Para pelaku yang ikut serta dalam pembangunan pariwisata meliputi kelompok dan institusi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), kelompok sukarelawan, pemerintah daerah, asosiasi wisata, asosiasi bisnis, dan pihak-pihak lain yang berpengaruh dan berkepentingan serta yang akan menerima dampak dari kegiatan wisata.

3. Kepemilikan lokal

Pembangunan pariwisata harus menawarkan lapangan pekerjaan yang berkualitas untuk masyarakat setempat. Fasilitas penunjang kepariwisataan seperti hotel, restoran, dan sebagainya seharusnya dapat dikembangkan dan dipelihara oleh masyarakat setempat. Beberapa pengalaman menunjukkan bahwa pendidikan dan pelatihan bagi penduduk setempat serta kemudahan akses untuk para pelaku bisnis/wirausahawan setempat benar-benar dibutuhkan dalam mewujudkan kepemilikan lokal. Lebih lanjut, keterlibatan (linkages) antara pelaku-pelaku bisnis dengan masyarakat lokal harus diupayakan dalam menunjang kepemilikan lokal tersebut.

4. Penggunaan sumber daya secara berkelanjutan

Pembangunan pariwisata harus dapat menggunakan sumber daya dengan berkelanjutan yang artinya kegiatan-kegiatan harus menghindari penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (irreversible) secara berlebihan. Hal ini juga didukung dengan keterkaitan lokal dalam tahap perencanaan, pembangunan, dan pelaksanaan sehingga pembagian keuntungan yang adil dapat diwujudkan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan pariwisata harus menjamin bahwa sumber daya alam dan buatan dapat dipelihara dan diperbaiki dengan menggunakan kriteria-kriteria dan standar-standar internasional.

5. Mewadahi tujuan-tujuan masyarakat

Tujuan-tujuan masyarakat hendaknya dapat diwadahi dalam kegiatan pariwisata agar kondisi yang harmonis antara pengunjung/wisatawan, tempat dan masyarakat setempat dapat terwujud. Misalnya, kerja sama dalam wisata budaya atau cultural tourism partnership dapat dilakukan mulai dari tahap perencanaan, manajemen, sampai pada pemasaran.

6. Daya dukung

Daya dukung atau kapasitas lahan yang harus dipertimbangkan meliputi daya dukung fisik, alam, sosial, dan budaya. Pembangunan dan pengembangan harus sesuai dan serasi dengan batas-batas lokal dan lingkungan. Rencana dan pengoperasiannya seharusnya dievaluasi secara regular sehingga dapat ditentukan penyesuaian perbaikan yang dibutuhkan. Skala dan tipe fasilitas pariwisata harus mencerminkan batas penggunaan yang dapat ditoleransi (limit of acceptable use).

7. Monitor dan evaluasi

Kegiatan monitor dan evaluasi pembangunan pariwisata berkelanjutan mencakup penyusunan pedoman, evaluasi dampak kegiatan wisata serta pengembangan indikator-indikator dan batasan-batasan untuk mengukur dampak pariwisata. Pedoman atau alat-alat bantu yang dikembangkan tersebut harus meliputi skala nasional, regional, dan lokal.

8. Akuntabilitas

Perencanaan pariwisata harus memberikan perhatian yang besar pada kesempatan mendapatkan pekerjaan, pendapatan dan perbaikan kesehatan masyarakat lokal yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan pembangunan. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam seperti: tanah, air, dan udara harus menjamin akuntabilitas serta memastikan bahwa sumber-sumber yang ada tidak dieksploitasi secara berlebihan.

9. Pelatihan

Pembangunan pariwisata berkelanjutan membutuhkan pelaksanaan program-program pendidikan dan pelatihan untuk membekali pengetahuan masyarakat dan meningkatkan keterampilan bisnis, vocational, dan professional. Pelatihan sebaiknya meliputi topik tentang pariwisata berkelanjutan, manajemen perhotelan, serta topik-topik lain yang relevan.

10. Promosi

Pembangunan pariwisata berkelanjutan juga meliputi promosi penggunaan lahan dan kegiatan yang memperkuat karakter landscape, sense of place, dan identitas masyarakat setempat. Kegiatan-kegiatan dan penggunaan lahan tersebut seharusnya bertujuan untuk mewujudkan pengalaman wisata yang berkualitas yang memberikan kepuasaan bagi pengunjung.

Selain prinsip-prinsip di atas ada beberapa cara yang dapat diterapkan dalam membangun pariwisata Bali di masa depan agar tetap berkelanjutan, dimana secara umum makna keberlanjutan adalah bahwa Pembangunan pariwisata harus didasarkan pada kriteria keberlanjutan yang artinya bahwa pembangunan dapat didukung secara ekologis dalam jangka panjang sekaligus layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. (Piagam Pariwisata Berkelanjutan, 1995 dalam Anonim, 2006).

Menurut WTO dalam Sari (2006) menyebutkan bahwa keberlanjutan pariwisata harus memperhatikan 3 hal pokok (triple bottom line principles), yaitu:

1) keberlanjutan lingkungan/ekologis (ecological sustainability)

2) keberlanjutan sosial budaya (sosial and culture sustainability)

3) keberlanjutan ekonomi (economic sustainability) bukan saja untuk generasi yang sekarang tetapi juga untuk generasi yang akan datang.

Selain itu The World Commission on Environment and Development (WCED), 1987 memberikan batasan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan generasi sekarang tidak boleh melakukan penghancuran terhadap berbagai sumber daya, sehingga kesejahteraan generai-generasi yang akan datang tetap terjamin.

Dalam Anonim (2008), untuk itu ada hal-hal penting untuk dijadikan rujukan pengembangan sektor wisata di masa depan, yaitu antara lain:

1. Harus ada tekad bersama untuk membenahi obyek-obyek wisata dari stakeholder yang berkepentingan dalam dunia pariwisata,

2. Perlu adanya tekad bersama untuk mewujudkan pandangan bahwa pariwisata dapat mensejahterakan masyarakat local,

3. Infrastruktur menuju obyek-obyek wisata dibangun dan dirawat untuk kemudahan aksesibilitas pariwisata.

Dengan kondisi Bali yang dilihat dari segi pariwisata tidak mengalami pemerataan kesejahteraan yang tebukti di daerah kabupaten Badung, Denpasar, dan Gianyar yang memiliki sarana akomodasi yang cukup banyak sehingga meningkatkan pendapatan daerahnya padahal kita ketahui bersama obyek-obyek wisata banyak terdapat di daerah selain ketiga daerah tersebut. Oleh karena itu dalam perencanaan pembangunan pariwisata hendaknya dilakukan penataan tata ruang yang matang sehingga mampu memeratakan kesejahteraan masyarakat di seluruh daerah yang ada di Bali terutama pendapatan yang dihasilkan dari sektor pariwisata (Minca, 2000).

Maka oleh karena itu perlu adanya pemetaan-pemetaan atau mengelompokkan wilayah-wilayah yang ada di Bali menjadi wilayah yang cukup matang dan kuat nilai-nilai eksotik yang ditawarkan tanpa menghilangkan unsur-unsur budaya yang dimiliki. Untuk daerah wisata yang sudah terlanjur bercampur dengan budaya luar yang telah beradaptasi disana maka dipetakanlah ruang-ruang tersebut sebagai daya tarik tersendiri.

Sebagai contoh Kuta yang sudah mulai kehilangan nilai–nilai eksotik dari pantainya karena menjamurnya hotel-hotel di pinggir pantai, dunia malam disana yang penuh dengan diskotik dan hingar bingar musik dan cahaya-cahaya lampu yang berkilauan dimana-mana sehingga tidak tampak pemandangan Kuta yang aslinya. Dan daerah tersebut bisa dijadikan tempat wisata yang memiliki daya tarik yang berbeda dengan Bali pada aslinya.

Tempat wisata lain yang belum mengalami pengembangan dan memiliki potensi untuk dikembangkan perlu direncanakan terlebih dahulu pengembangannya sehingga tidak merusak tata ruang yang ada disana dan tidak menghilangkan unsur-unsur estetika dan eksotik dari wilayah tersebut. Daerah tujuan wisata tersebut akan menjadi obyek wisata yang berkembang dengan baik sesuai dengan tata ruang yang telah dipetakan sehingga menjadi daerah wisata yang berkelanjutan.

Jika terdapat daerah-daerah yang memiliki potensi untuk mengembangkan ekowisata, wisata bahari, wisata agro, wisata pedesaan, dan lain sebagainya agar tetap memegang prinsip-prinsip wisata berkelanjutan serta mampu mewujudkan kesejahteraan yang merata di seluruh daerah yang ada di Bali sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

DAFTAR PUSTAKA

Agasi, Ramdisa. Pariwisata = Masa Depan? http://www.p2par.itb.ac.id.

Anonim, 2006. Pariwisata berkelanjutan: Prinsip-Prinsip Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan. http://www.p2par.itb.ac.id.

Anonim. 2008. Bali dan Pariwisata. http://www.baliprov.go.id.

Anonim. 2008. Gemerlap Pariwisata di Bali Ancam Ekologi. http://www.balebengong.net/2008/01/21/di-balik-gemerlapnya-pariwisata-di-bali.

Kuhn, Lesley. 2007. Sustainable Tourism as Emergent Discourse. http://www.informaworld.com/smpp/title~content=t713393663.

Minca, Claudio. 2000. Bali Syndrome: Explosion and Implosion of Exotic Tourist Spaces. Tourism Geographies 2 (4).

Henderson, Joan C. 2007. Hosting Major Meetings and Accompanying Protectors: Singapore 2006. Current Issues In Tourism Volume 10 No.6.

Pitana, I G. 2005. Renvention of Bali: Menata Bali Pasca Tragedi Menuju Pariwisata Berkualitas dan Berkelanjutan. Analisis Pariwisata Volume 6.

Rukendi, Cecep. 2006. Menemukan Kembali Konsep Pariwisata Budaya Indonesia. Jurnal Kepariwisataan Indonesia, Volume I.

Sari, Ika Kusuma Permana. 2006. Pengembangan Desa Wisata dalam Konteks Pariwisata Berbasis Kerakyatan. Jurnal Kepariwisataan Indonesia, Volume I No. 2.

Tjatera, I Wayan. 2005. A Model for Balancing Economic, Enviromental anf Sosio-Cultural Goals to Achieve Sustainable Tourism Development in Bali, Indonesia. Jurnal Kepariwisataan Indonesia, Volume I.

Utama, IGB Rai. 2008. Stagnasi Pariwisata Bali. http://www.kpubali.wordpress.com.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar