Kamis, 18 Juni 2009

PENGEMBANGAN PARIWISATA BALI DI MASA DEPAN MENUJU PARIWISATA BERKELANJUTAN

PENGEMBANGAN PARIWISATA BALI DI MASA DEPAN MENUJU PARIWISATA BERKELANJUTAN

http://www.nieuwsvanbali.nl/content/content/toerisme,%20tabananN_files/image008.jpgBali merupakan daerah tujuan wisata yang sangat digemari sejak jaman pemerintahan Belanda. Sejak jaman tersebut Bali mulai didatangi oleh orang asing. Mereka datang ada yang sebagai wisatawan dan juga sebagai pemerhati budaya. Budaya Bali terkenal dengan keunikannya dan sudah dikenal sampai tingkat internasional, sehingga ada pendapat yang mengatakan bahwa Bali merupakan daerah pariwisata yang menonjolkan kebudayaannya. Melalui berbagai media Bali dipromosikan ke seluruh manca negara baik melalui media elektronik maupun dari cerita-cerita yang dibawa oleh wisatwan yang pernah datang ke Bali. Kekaguman para wisatawan asing akan Bali menggugah mereka untuk memberi gelar, istilah ataupun nama lain terhadap Bali seperti: The Island of God, The Island of Paradise, The Island of Thousand Temples dan lain sebagainya.

Sejak tahun 1930 Bali sudah menunjukkan tanda-tanda kehidupan yang mengarah pada kegiatan pariwisata. Terbukti dengan didirikannya salah satu sarana akomodasi di jantung kota Denpasar yang berupa hotel tempat menampung wisatawan yang berkunjung. Namun kegiatan pariwisata sempat terhenti akibat adanya perang dunia ke II antara tahun 1942-1945 yang kemudian disusul dengan perjuangan rakyat Indonesia untuk merebut kemerdekaan hingga tahun 1949. Pertengahan tahun 50-an pariwisata Bali mulai tertata kembali dan pada tahun 1963 dibangun hotel Bali Beach (The Grand Bali Beach Hotel) di pantai Sanur dengan bangunan berlantai sepuluh. Hotel ini adalah satu-satunya hotel yang berbentuk bangunan tinggi sedangkan sarana hunian wisata lain yang berkembang hanyalah bangunan berlantai satu. Pada pertengahan tahun70-an pemerintah daerah Bali mengeluarkan peraturan daerah yang mengatur ketinggian bangunan maksimal 15 meter. Penetapan ini ditentukan dengan mempertimbangakan faktor budaya dan tata ruang tradisional Bali sehingga Bali tetap memiliki nilai-nilai budaya. Sejak dioperasikannya hotel Bali Beach tersebut, pembangunan sarana hunian wisata berkembang pesat. Dari segi kualitas Sanur berkembang relatif lebih terrencana karena berdampingan dengan hotel Bali Beach, sedangkan kawasan Pantai Kuta berkembang secara alamiah termasuk kawasan Ubud, Gianyar yang menonjolkan wisata pedesaan. Diikuti dengan pembangunan sarana hunian wisata di Nusa dua serta di daerah-daerah lain seperti kawasan Badung, Denpasar maupun Gianyar.

Sebagai akibat dari perkembangan kunjungan wisatawan, berbagai sarana penunjang pariwisata mulai didirikan seperti restoran, artshop, pasar seni, pusat hiburan, dan tempat rekreasi mulai tumbuh dengan pesat di pusat hunian wisata ataupun di kawasan obyek wisata. Sehingga para wisatawan memiliki berbagai pilihan dalam menikmati liburan mereka di Bali. Hunian wisata merupakan salah satu sarana akomodasi dalam sektor pariwisata dan sarana akomodasi tersebut merupakan industri yang menggerakkan pariwisata di Bali. Industri pariwisata adalah salah satu faktor penting yang memegang peranan dalam memajukan pariwisata di bali. Sejak tahun 90-an sampai sekarang Bali sudah mengalami perubahan ynag sangat cepat.

Pembangunan sarana hunian wisata yang berkelas internasional akhirnya dimulai dengan pengembangan kawasan Nusa Dua menjadi resort wisata Internasional. Dikelola oleh Bali Tourism Development Corporation, suatu badan bentukan pemerintah, kawasan Nusa Dua dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata bertaraf internasional. Beberapa operator hotel masuk kawasan Nusa Dua sebagai investor yang pada akhirnya kawasan ini mampu mendongkrak perkembangan pariwisata Bali.

Masa-masa berikutnya, sarana hunian wisata lalu tumbuh dengan sangat pesat di pusat hunian wisata terutama di daerah Badung, Denpasar, Gianyar, Kawasan Pantai Kuta, Jimbaran, Ungasan menjadi kawasan hunian wisata di Kabupaten Badung, Sanur, dan pusat kota untuk kawasan Denpasar. Ubud, Kedewatan, Payangan, dan Tegalalang menjadi pengembangan hunian wisata di daerah Gianyar.

Mengendalikan perkembangan yang amat pesat tersebut, pemerintah Daerah Bali kemudian menetapkan 15 kawasan di Bali sebagai daerah hunian wisata berikut sarana penunjangnya seperti restoran dan pusat perbelanjaan. Hingga kini, Bali memiliki lebih dari 35.000 kamar hotel terdiri dari kelas Pondok Wisata, Melati, hingga Bintang 5. Sarana hotel-hotel tersebut tampil dalam berbagai variasi bentuk mulai dari model rumah, standar hotel, villa, bungalow, dengan variasi harga jual. Keberagaman ini memberi nilai lebih bagi Bali karena menawarkan banyak pilihan kepada para wisatawan.

Sebagai akibat dari perkembangan kunjungan wisatawan, berbagai sarana penunjang seperti misalnya: restoran, art shop, pasar seni, sarana hiburan, dan rekreasi tumbuh dengan pesat di pusat hunian wisata ataupun di kawasan obyek wisata. Para wisatawan yang berkunjung ke Bali, akhirnya memiliki banyak pilihan dalam menikmati liburan mereka di Bali, akhirnya organisasi kepariwisataan seperti PHRI (IHRA), ASITA, dan lembaga kepariwisataan lain di Bali, yang secara professional mengelola dan memberi layanan jasa pariwisata, seakan memberi jaminan untuk kenyamanan berwisata di Bali (Anonim, 2008).

Pesatnya pertumbuhan pembangunan untuk kepentingan perumahan dan industri pariwisata, hotel, villa. bungalow, dan sarana kegiatan olah raga air di hampir semua kawasan pesisir di Bali telah mengakibatkan tekanan-tekanan terhadap kehidupan sosial-budaya masyarakat, sumber daya alam (air, udara, dan tanah), dan ekosistem yang ada di sekitarnya (Anonim, 2008).

Kehidupan sosial budaya masyarakat sudah semakin terkikis seiring dengan derasnya laju pembangunan pariwisata. Budaya-budaya asli (indigenous culture) masyarakat yang hidup di sepanjang pesisir hampir seluruh pelosok Bali seperti nelayan, pembuat garam, pencari kerang dan batu karang, serta petani rumput laut sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat karena dianggap kurang menjanjikan kesejahteraan hidupnya. Perubahan-perubahan tersebut tidak terlepas dari manisnya kata “pariwisata” yang beriming-iming dollar. Namun tanpa mereka sadari bahwa pariwisata secara perlahan telah merubah pola, gaya, dan perilaku hidupnya sehingga seringkali terjerumus ke dalam “noda hitam” pariwisata.

Ada anggapan bahwa pariwisata Bali telah berada pada titik stagnasi dapat kita lihat dari indikator tingkat kunjungan wisatawan asing ke Bali yang cenderung menunjukkan angka yang stagnan bahkan beberapa tahun sebelumnya sempat menurun. Para praktisi pariwisata dan juga pemerintah daerah rupanya juga telah mengetahuinya. Namun sayang, kebijakan yang diambil masih terlihat bersifat sementara dan kurang menyeluruh untuk pembangunan pariwisata yang berkesinambungan. Sebut saja misalnya, praktisi hotel di Bali cenderung mengobral harga kamarnya ketimbang penyelamatan kualitas destinasi pariwisata ke depan. Kita bisa bayangkan, karena masih banyak sumber daya yang digunakan pada dunia perhotelan masih disubsidi. Sebut saja misalnya energi listrik, air, dan juga tenaga kerja yang harus rela bekerja lebih keras karena tamu meningkat oleh sebab kamar diobral namun gaji tidak terlalu banyak bertambah. Lebih parah lagi jika wisatawan diarahkan hanya tinggal di hotel, sehingga kontak dengan obyek wisata dan juga masyarakat lokal akan berkurang. Akhirnya dampak pengganda untuk ekonomi masyarakat lokal akan dirasakan sangat kecil. Semua indikator ini menunjukkan bahwa kita berada pada titik kebingungan dan cenderung mengambil kebijakan yang bersifat sesaat (Utama, 2008)

Meningkatnya kualitas destinasi haruslah dilakukan sebagai usaha menyeluruh bagi semua elemen produk wisata, dari transportasi, hotel, restoran, objek wisata, dan tentu juga pelayanan yang baik kepada wisatawan. Kalau wisatawan merasa takut melakukan perjalanan ke Bali dengan alasan keselamatan penumpang tidak terjamin, artinya kita harus meningkatkan kualitas transportasi yang ada. Kalau hotel sepi wisatawan ini merupakan efek domino dari persoalan yang lain karena wisatawan datang ke Bali tidak hanya untuk tinggal di hotel saja. Bagaimana wisatawan mau datang ke Bali jika obyek wisata dan komponen lainnya tidak sesuai dengan harapan wisatawan. Taman kota yang tidak terawat dan langkanya ruang hijau terbuka juga memperburuk kesan kota (Utama, 2008).

Menurut Bater et. al. (2001) dalam Anonim (2006), pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dapat dikenali melalui prinsip-prinsipnya yang dielaborasi berikut ini. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: partisipasi, keikutsertaan para pelaku (stakeholder), kepemilikan lokal, penggunaan sumber daya secara berkelanjutan, mewadahi tujuan-tujuan masyarakat, perhatian terhadap daya dukung, monitor, dan evaluasi, akuntabilitas, pelatihan, serta promosi.

1. Partisipasi

Masyarakat setempat harus mengawasi atau mengontrol pembangunan pariwisata dengan ikut terlibat dalam menentukan visi pariwisata, mengidentifikasi sumber-sumber daya yang akan dipelihara dan ditingkatkan, serta mengembangkan tujuan-tujuan dan strategi-strategi untuk pengembangan dan pengelolaan daya tarik wisata. Masyarakat juga harus berpartisipasi dalam mengimplementasikan strategi-strategi yang telah disusun sebelumnya.

2. Keikutsertaan para pelaku (stakeholder involement)

Para pelaku yang ikut serta dalam pembangunan pariwisata meliputi kelompok dan institusi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), kelompok sukarelawan, pemerintah daerah, asosiasi wisata, asosiasi bisnis, dan pihak-pihak lain yang berpengaruh dan berkepentingan serta yang akan menerima dampak dari kegiatan wisata.

3. Kepemilikan lokal

Pembangunan pariwisata harus menawarkan lapangan pekerjaan yang berkualitas untuk masyarakat setempat. Fasilitas penunjang kepariwisataan seperti hotel, restoran, dan sebagainya seharusnya dapat dikembangkan dan dipelihara oleh masyarakat setempat. Beberapa pengalaman menunjukkan bahwa pendidikan dan pelatihan bagi penduduk setempat serta kemudahan akses untuk para pelaku bisnis/wirausahawan setempat benar-benar dibutuhkan dalam mewujudkan kepemilikan lokal. Lebih lanjut, keterlibatan (linkages) antara pelaku-pelaku bisnis dengan masyarakat lokal harus diupayakan dalam menunjang kepemilikan lokal tersebut.

4. Penggunaan sumber daya secara berkelanjutan

Pembangunan pariwisata harus dapat menggunakan sumber daya dengan berkelanjutan yang artinya kegiatan-kegiatan harus menghindari penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (irreversible) secara berlebihan. Hal ini juga didukung dengan keterkaitan lokal dalam tahap perencanaan, pembangunan, dan pelaksanaan sehingga pembagian keuntungan yang adil dapat diwujudkan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan pariwisata harus menjamin bahwa sumber daya alam dan buatan dapat dipelihara dan diperbaiki dengan menggunakan kriteria-kriteria dan standar-standar internasional.

5. Mewadahi tujuan-tujuan masyarakat

Tujuan-tujuan masyarakat hendaknya dapat diwadahi dalam kegiatan pariwisata agar kondisi yang harmonis antara pengunjung/wisatawan, tempat dan masyarakat setempat dapat terwujud. Misalnya, kerja sama dalam wisata budaya atau cultural tourism partnership dapat dilakukan mulai dari tahap perencanaan, manajemen, sampai pada pemasaran.

6. Daya dukung

Daya dukung atau kapasitas lahan yang harus dipertimbangkan meliputi daya dukung fisik, alam, sosial, dan budaya. Pembangunan dan pengembangan harus sesuai dan serasi dengan batas-batas lokal dan lingkungan. Rencana dan pengoperasiannya seharusnya dievaluasi secara regular sehingga dapat ditentukan penyesuaian perbaikan yang dibutuhkan. Skala dan tipe fasilitas pariwisata harus mencerminkan batas penggunaan yang dapat ditoleransi (limit of acceptable use).

7. Monitor dan evaluasi

Kegiatan monitor dan evaluasi pembangunan pariwisata berkelanjutan mencakup penyusunan pedoman, evaluasi dampak kegiatan wisata serta pengembangan indikator-indikator dan batasan-batasan untuk mengukur dampak pariwisata. Pedoman atau alat-alat bantu yang dikembangkan tersebut harus meliputi skala nasional, regional, dan lokal.

8. Akuntabilitas

Perencanaan pariwisata harus memberikan perhatian yang besar pada kesempatan mendapatkan pekerjaan, pendapatan dan perbaikan kesehatan masyarakat lokal yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan pembangunan. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam seperti: tanah, air, dan udara harus menjamin akuntabilitas serta memastikan bahwa sumber-sumber yang ada tidak dieksploitasi secara berlebihan.

9. Pelatihan

Pembangunan pariwisata berkelanjutan membutuhkan pelaksanaan program-program pendidikan dan pelatihan untuk membekali pengetahuan masyarakat dan meningkatkan keterampilan bisnis, vocational, dan professional. Pelatihan sebaiknya meliputi topik tentang pariwisata berkelanjutan, manajemen perhotelan, serta topik-topik lain yang relevan.

10. Promosi

Pembangunan pariwisata berkelanjutan juga meliputi promosi penggunaan lahan dan kegiatan yang memperkuat karakter landscape, sense of place, dan identitas masyarakat setempat. Kegiatan-kegiatan dan penggunaan lahan tersebut seharusnya bertujuan untuk mewujudkan pengalaman wisata yang berkualitas yang memberikan kepuasaan bagi pengunjung.

Selain prinsip-prinsip di atas ada beberapa cara yang dapat diterapkan dalam membangun pariwisata Bali di masa depan agar tetap berkelanjutan, dimana secara umum makna keberlanjutan adalah bahwa Pembangunan pariwisata harus didasarkan pada kriteria keberlanjutan yang artinya bahwa pembangunan dapat didukung secara ekologis dalam jangka panjang sekaligus layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. (Piagam Pariwisata Berkelanjutan, 1995 dalam Anonim, 2006).

Menurut WTO dalam Sari (2006) menyebutkan bahwa keberlanjutan pariwisata harus memperhatikan 3 hal pokok (triple bottom line principles), yaitu:

1) keberlanjutan lingkungan/ekologis (ecological sustainability)

2) keberlanjutan sosial budaya (sosial and culture sustainability)

3) keberlanjutan ekonomi (economic sustainability) bukan saja untuk generasi yang sekarang tetapi juga untuk generasi yang akan datang.

Selain itu The World Commission on Environment and Development (WCED), 1987 memberikan batasan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan generasi sekarang tidak boleh melakukan penghancuran terhadap berbagai sumber daya, sehingga kesejahteraan generai-generasi yang akan datang tetap terjamin.

Dalam Anonim (2008), untuk itu ada hal-hal penting untuk dijadikan rujukan pengembangan sektor wisata di masa depan, yaitu antara lain:

1. Harus ada tekad bersama untuk membenahi obyek-obyek wisata dari stakeholder yang berkepentingan dalam dunia pariwisata,

2. Perlu adanya tekad bersama untuk mewujudkan pandangan bahwa pariwisata dapat mensejahterakan masyarakat local,

3. Infrastruktur menuju obyek-obyek wisata dibangun dan dirawat untuk kemudahan aksesibilitas pariwisata.

Dengan kondisi Bali yang dilihat dari segi pariwisata tidak mengalami pemerataan kesejahteraan yang tebukti di daerah kabupaten Badung, Denpasar, dan Gianyar yang memiliki sarana akomodasi yang cukup banyak sehingga meningkatkan pendapatan daerahnya padahal kita ketahui bersama obyek-obyek wisata banyak terdapat di daerah selain ketiga daerah tersebut. Oleh karena itu dalam perencanaan pembangunan pariwisata hendaknya dilakukan penataan tata ruang yang matang sehingga mampu memeratakan kesejahteraan masyarakat di seluruh daerah yang ada di Bali terutama pendapatan yang dihasilkan dari sektor pariwisata (Minca, 2000).

Maka oleh karena itu perlu adanya pemetaan-pemetaan atau mengelompokkan wilayah-wilayah yang ada di Bali menjadi wilayah yang cukup matang dan kuat nilai-nilai eksotik yang ditawarkan tanpa menghilangkan unsur-unsur budaya yang dimiliki. Untuk daerah wisata yang sudah terlanjur bercampur dengan budaya luar yang telah beradaptasi disana maka dipetakanlah ruang-ruang tersebut sebagai daya tarik tersendiri.

Sebagai contoh Kuta yang sudah mulai kehilangan nilai–nilai eksotik dari pantainya karena menjamurnya hotel-hotel di pinggir pantai, dunia malam disana yang penuh dengan diskotik dan hingar bingar musik dan cahaya-cahaya lampu yang berkilauan dimana-mana sehingga tidak tampak pemandangan Kuta yang aslinya. Dan daerah tersebut bisa dijadikan tempat wisata yang memiliki daya tarik yang berbeda dengan Bali pada aslinya.

Tempat wisata lain yang belum mengalami pengembangan dan memiliki potensi untuk dikembangkan perlu direncanakan terlebih dahulu pengembangannya sehingga tidak merusak tata ruang yang ada disana dan tidak menghilangkan unsur-unsur estetika dan eksotik dari wilayah tersebut. Daerah tujuan wisata tersebut akan menjadi obyek wisata yang berkembang dengan baik sesuai dengan tata ruang yang telah dipetakan sehingga menjadi daerah wisata yang berkelanjutan.

Jika terdapat daerah-daerah yang memiliki potensi untuk mengembangkan ekowisata, wisata bahari, wisata agro, wisata pedesaan, dan lain sebagainya agar tetap memegang prinsip-prinsip wisata berkelanjutan serta mampu mewujudkan kesejahteraan yang merata di seluruh daerah yang ada di Bali sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

DAFTAR PUSTAKA

Agasi, Ramdisa. Pariwisata = Masa Depan? http://www.p2par.itb.ac.id.

Anonim, 2006. Pariwisata berkelanjutan: Prinsip-Prinsip Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan. http://www.p2par.itb.ac.id.

Anonim. 2008. Bali dan Pariwisata. http://www.baliprov.go.id.

Anonim. 2008. Gemerlap Pariwisata di Bali Ancam Ekologi. http://www.balebengong.net/2008/01/21/di-balik-gemerlapnya-pariwisata-di-bali.

Kuhn, Lesley. 2007. Sustainable Tourism as Emergent Discourse. http://www.informaworld.com/smpp/title~content=t713393663.

Minca, Claudio. 2000. Bali Syndrome: Explosion and Implosion of Exotic Tourist Spaces. Tourism Geographies 2 (4).

Henderson, Joan C. 2007. Hosting Major Meetings and Accompanying Protectors: Singapore 2006. Current Issues In Tourism Volume 10 No.6.

Pitana, I G. 2005. Renvention of Bali: Menata Bali Pasca Tragedi Menuju Pariwisata Berkualitas dan Berkelanjutan. Analisis Pariwisata Volume 6.

Rukendi, Cecep. 2006. Menemukan Kembali Konsep Pariwisata Budaya Indonesia. Jurnal Kepariwisataan Indonesia, Volume I.

Sari, Ika Kusuma Permana. 2006. Pengembangan Desa Wisata dalam Konteks Pariwisata Berbasis Kerakyatan. Jurnal Kepariwisataan Indonesia, Volume I No. 2.

Tjatera, I Wayan. 2005. A Model for Balancing Economic, Enviromental anf Sosio-Cultural Goals to Achieve Sustainable Tourism Development in Bali, Indonesia. Jurnal Kepariwisataan Indonesia, Volume I.

Utama, IGB Rai. 2008. Stagnasi Pariwisata Bali. http://www.kpubali.wordpress.com.

Minggu, 14 Juni 2009

PENGEMBANGAN PARIWISATA KAWASAN BENDUNGAN TELAGA TUNJUNG MENUJU PARIWISATA KERAKYATAN YANG BERKELANJUTAN

BAB I

PENDAHULUAN

Kabupaten Tabanan merupakan salah satu dari Sembilan Kabupaten/Kota yang ada di Bali yang memiliki predikat “Lumbung Beras” bagi Provinsi Bali. Sebagian besar wilayah kabupaten Tabanan merupakan sawah berterassering dengan organisasi subak yang cukup menarik. Memahami kondisi tersebut Pemerintah Kabupaten Tabanan mempunyai kebijakan untuk tetap mempertahankan predikat sebagai lumbung beras dan juga upaya menjadikan hamparan sawah berterassering sebagai obyek dan daya taik wisata. Guna mendukung kebijakan tersebut dan untuk memenuhi kebutuhan air baku baik bagi pemenuhan air bersih maupun kebutuhan irigasi di kabupaten Tabanan telah merencanakan dan akan membangun “Bendungan Telaga Tunjung”. Bendungan ini akan menampung air dari sungai Yeh Ho dan sungai Mawa yang mengalir dari utara yaitu dari dataran tinggi Batukaru menuju daerah bagian selatan yang bermuara di Samudera Indonesia.

Pembangunan bendungan adalah salah satu upaya pembangunan yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap prasarana sumber air. Cadangan sumber daya air di Propinsi Bali sebagian besar tergantung kepada kawasan hutan sebagai daerah penyangga sumber air yang membujur di bagian tengah dari barat ke arah timur Pulau Bali. Dari daerah perbukitan dan pegunungan ini mengalir 401 buah sungai dengan 162 buah muara yang tersebar di sekeliling pantai Bali yang termasuk satu satuan wilayah sungai. Kebutuhan terhadap sumber air untuk memenuhi perkembangan di sektor pariwisata, pertanian, industri, dan pemukiman telah memunculkan berbagai persoalan dalam kaitan untuk memberikan asas keadilan yang bertanggung jawab. Karena prioritas pembangunan yang lebih banyak bertumpu pada sektor pariwisata, telah dirasakan merugikan sektor-sektor lainnya khususnya air untuk kepentingan irigasi.

Paradigma baru lebih memberikan ruang kepada pembangunan berbasis masyarakat (community based development) sehingga masyarakat diharapkan memiliki inisiatif dan kreatifitas untuk membangun daerahnya disesuaikan dengan potensi yang dimiliki. Menyikapi perubahan paradigma pembangunan tersebut, dalam mengelola kebutuhan sumber daya air di Propinsi Bali untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya, sangat diperlukan suatu tata pengaturan yang komprehensif mengenai sumber daya air dan prasarananya. Studi pengembangan kawasan Bendungan Telaga Tunjung mengedepankan komitmen menjaga kelestarian lingkungan hidup kawasan tersebut serta menumbuhkan potensi ekonomi masyarakat di sekitar waduk/bendungan. Komitmen tersebut ditunjukkan dengan kecermatan dalam menjaga kelestarian daya dukung lingkungan serta pemberdayaan lembaga-lembaga tradisional.

Dengan didirikannya bendungan Telaga Tunjung ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar pada khususnya dan masyarakat Tabanan pada umumnya. Berkaitan dengan pariwisata, maka penulis ingin menggambarkan potensi-potensi yang dimiliki oleh kawasan bendungan Telaga Tunjung tersebut sehingga dapat dikembangkan menjadi obyek wisata yang berbasis kerakyatan dan menuju pariwisata yang berkelanjutan. Untuk itu di bab berikutnya akan menggambarkan tentang pengembangan kawasan bendungan Telaga Tunjung beserta potensi-potensi yang dimiliki untuk dapat dijadikan pariwisata yang berkelanjutan dan berbasis kerakyatan .


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 LOKASI DAN POTENSI

Secara admnistratif Bendungan Telaga Tunjung masuk dalam wilayah Desa Pesagi, Rejasa dan Timpag. Wilayah ini strategis terhadap daerah-daerah wisata di Kabupaten Tabanan yang didukung oleh kemudahan akses untuk mencapainya. Potensi berupa keindahan alam adalah berupa sawah terasering dan kebun rakyat dalam daerah pengembangan dan di sepanjang akses menuju kawasan.

Kontur tanah yang variatif bergelombang dan datar membentuk karakter alam yang indah. Terletak di ketinggian 200-300 m di atas permukaan laut serta memilik suhu udara sejuk (22 - 27o C). Potensi religious yang ada berupa Pura Campuhan Luhurwani dan Khayangan Tiga.

2.2 KONSEP PARIWISATA KERAKYATAN

Pengembangan suatu kawasan sebagai obyek wisata menimbulkan dampak positif dan negatif yang berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat. Dampak negatif yang dapat terjadi adalah kerusakan ekosistem sebagai akibat dari kebijakan pembangunan pariwisata yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan maupun ulah wisatawan yang bersifat vandalism. Oleh karena itu perlulah pengembangan suatu kawasan mengedepankan pembangunan berwawasan kerakyatan yang lebih mengutamakan peningkatan ekonomi dan masyarakat. Masyarakat perlu dilatih dan dipersiapkan untuk menghadapi dampak negatif dari pengaruh pariwisata dengan menjaga kekompakan, menumbuhkan kemandirian, regenerasi, dan memperluas wawasan tentang bagaimana menjaga lingkungan hidup.

Sangat diperlukan peran aktif masyarakat dalam member masukan dan ide-ide yang relevan untuk perencanaan dan pengembangan wilayahnya. Selain itu yang tak kalah pentingnya adalah memberi pengertian kepada masyarakat bahwa pengembangan suatu kawasan tidak dapat dilakukan seketika tetapi melalui tahap-tahap perkembangan tertentu.

2.3 DEFINISI PARIWISATA BERKELANJUTAN

Pembangunan pariwisata harus didasarkan pada kriteria keberlanjutan yang artinya bahwa pembangunan dapat didukung secara ekologis dalam jangka panjang sekaligus layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial terhadap masyrakat. (Piagam Pariwisata Berkelanjutan, 1995 dalam Anonim, 2006).

Menurut WTO dalam Sari (2006) menyebutkan bahwa keberlanjutan pariwisata harus memperhatikan 3 hal pokok (3 bottom line principles), y aitu:

1. keberlanjutan lingkungan/ekologis (ecological sustainability)

2. keberlanjutan sosial budaya (sosial and culture sustainability)

3. keberlanjutan ekonomi (economic sustainability), bukan saja untuk generasi yang sekarang tetapi juga untuk generasi yang akan datang.

Selain itu The World Commission on Envirinment and Development (WCED), 1987 memberikan batasan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang mampu mmenuhi kebutuhan mas kini tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan generasi sekarang tidak boleh melakukan penghancuran terhadap berbagai sumber daya, sehingga kesejahteraa generai-generasi yang akan datang tetap terjamin.

2.4 PRINSIP-PRINSIP PARIWISATA BERKELANJUTAN

Menurut Bater et. al. (2001) dalam Anonim (2006), pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dapat dikenali melalui prinsip-prinsipnya yang dielaborasi berikut ini. Prinsip-prinsip tersebut antara lain: partisipasi, keikutsertaan para pelaku (stakeholder), kepemilikan lokal, penggunaan sumber daya secara berkelanjutan, mewadahi tujuan-tujuan masyarakat, perhatian terhadap daya dukung, monitor, dan evaluasi, akuntabilitas, pelatihan, serta promosi.

1. Partisipasi

Masyarakat setempat harus mengawasi atau mengontrol pembangunan pariwisata dengan ikut terlibat dalam menentukan visi pariwisata, mengidentifikasi sumber-sumber daya yang akan dipelihara dan ditingkatkan, serta mengembangkan tujuan-tujuan dan strategi-strategi untuk pengembangan dan pengelolaan daya tarik wisata. Masyarakat juga harus berpartisipasi dalam mengimplementasikan strategi-strategi yang telah disusun sebelumnya.

2. Keikutsertaan para pelaku (stakeholder involement)

Para pelaku yang ikut serta dalam pembangunan pariwisata meliputi kelompok dan institusi LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), kelompok sukarelawan, pemerintah daerah, asosiasi wisata, asosiasi bisnis, dan pihak-pihak lain yang berpengaruh dan berkepentingan serta yang akan menerima dampak dari kegiatan wisata.

3. Kepemilikan lokal

Pembangunan pariwisata harus menawarkan lapangan pekerjaan yang berkualitas untuk masyarakat setempat. Fasilitas penunjang kepariwisataan seperti hotel, restoran, dan sebagainya seharusnya dapat dikembangkan dan dipelihara oleh masyarakat setempat. Beberapa pengalaman menunjukkan bahwa pendidikan dan pelatihan bagi penduduk setempat serta kemudahan akses untuk para pelaku bisnis/wirausahawan setempat benar-benar dibutuhkan dalam mewujudkan kepemilikan lokal. Lebih lanjut, keterlibatan (linkages) antara pelaku-pelaku bisnis dengan masyarakat lokal harus diupayakan dalam menunjang kepemilikan lokal tersebut.

4. Penggunaan sumber daya secara berkelanjutan

Pembangunan pariwisata harus dapat menggunakan sumber daya dengan berkelanjutan yang artinya kegiatan-kegiatan harus menghindari penggunaan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (irreversible) secara berlebihan. Hal ini juga didukung dengan keterkaitan lokal dalam tahap perencanaan, pembangunan, dan pelaksanaan sehingga pembagian keuntungan yang adil dapat diwujudkan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan pariwisata harus menjamin bahwa sumber daya alam dan buatan dapat dipelihara dan diperbaiki dengan menggunakan kriteria-kriteria dan standar-standar internasional.

5. Mewadahi tujuan-tujuan masyarakat

Tujuan-tujuan masyarakat hendaknya dapat diwadahi dalam kegiatan pariwisata agar kondisi yang harmonis antara pengunjung/wisatawan, tempat dan masyarakat setempat dapat terwujud. Misalnya, kerja sama dalam wisata budaya atau cultural tourism partnership dapat dilakukan mulai dari tahap perencanaan, manajemen, sampai pada pemasaran.

6. Daya dukung

Daya dukung atau kapasitas lahan yang harus dipertimbangkan meliputi daya dukung fisik, alam, sosial, dan budaya. Pembangunan dan pengembangan harus sesuai dan serasi dengan batas-batas lokal dan lingkungan. Rencana dan pengoperasiannya seharusnya dievaluasi secara regular sehingga dapat ditentukan penyesuaian perbaikan yang dibutuhkan. Skala dan tipe fasilitas pariwisata harus mencerminkan batas penggunaan yang dapat ditoleransi (limit of acceptable use).

7. Monitor dan evaluasi

Kegiatan monitor dan evaluasi pembangunan pariwisata berkelanjutan mencakup penyusunan pedoman, evaluasi dampak kegiatan wisata serta pengembangan indikator-indikator dan batasan-batasan untuk mengukur dampak pariwisata. Pedoman atau alat-alat bantu yang dikembangkan tersebut harus meliputi skala nasional, regional, dan lokal.

8. Akuntabilitas

Perencanaan pariwisata harus memberikan perhatian yang besar pada kesempatan mendapatkan pekerjaan, pendapatan dan perbaikan kesehatan masyarakat lokal yang tercermin dalam kebijakan-kebijakan pembangunan. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam seperti: tanah, air, dan udara harus menjamin akuntabilitas serta memastikan bahwa sumber-sumber yang ada tidak dieksploitasi secara berlebihan.

9. Pelatihan

Pembangunan pariwisata berkelanjutan membutuhkan pelaksanaan program-program pendidikan dan pelatihan untuk membekali pengetahuan masyarakat dan meningkatkan keterampilan bisnis, vocational, dan professional. Pelatihan sebaiknya meliputi topik tentang pariwisata berkelanjutan, manajemen perhotelan, serta topik-topik lain yang relevan.

10. Promosi

Pembangunan pariwisata berkelanjutan juga meliputi promosi penggunaan lahan dan kegiatan yang memperkuat karakter landscape, sense of place, dan identitas masyarakat setempat. Kegiatan-kegiatan dan penggunaan lahan tersebut seharusnya bertujuan untuk mewujudkan pengalaman wisata yang berkualitas yang memberikan kepuasaan bagi pengunjung.

Selain prinsip-prinsip diatas ada beberapa cara yang dapat diterapkan dalam membangun pariwisata Bali di masa depan agar tetap berkelanjutan, dimana secara umum makna keberlanjutan adalah bahwa Pembangunan pariwisata harus didasarkan pada kriteria keberlanjutan yang artinya bahwa pembangunan dapat didukung secara ekologis dalam jangka panjang sekaligus layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. (Piagam Pariwisata Berkelanjutan, 1995 dalam Anonim, 2006).

Pembangunan pariwisata harus didasarkan pada criteria keberlanjutan yang artinya bahwa pembangunan dapat didukung secara ekologis dalam jangka panjang sekaligus layak secara ekonomi, adil secara etika dan sosial terhadap masyrakat. (Piagam Pariwisata Berkelanjutan, 1995 dalam Anonim, 2006).

2.5 KONSEP DASAR PENGEMBANGAN KAWASAN

Pengembangan kawasan di sekitar bendungan Telaga Tunjung bertujuan untuk menambah manfaat dari bendungan itu sendiri, serta untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat di sekitar bendungan yang dominan sebagai petani. Pengembangan kawasan yang menggunakan atau memanfaatkan potensi wilayah studi untuk dijadikan Obyek Daya Tarik Wisata (ODTW).

Konsep dasar dari pengembangan kawasan ini adalah:

1. Pembangunan berwawasan lingkungan

Pembangunan berwawasan lingkungan artinya merencanakan suatu kawasan yang memperhatikan keseimbangan lingkungan seperti:

- Melestarikan kawasan lindung dengan mempertahankan kawasan ini bebas dari kegiatan budidaya. Kawasan lindung di kawasan pengembangan terdiri dari daerah sempadan sungai, daerah sekitar mata air, daerah sekitar waduk/bendungan dan daerah radius kesucian Pura Campuhan.

- Menciptakan lingkungan kawasan yang bebas polusi baik polusi udara maupun tanah. Bebas polusi udara artinya menciptakan lingkungan yang bebas kendaraan bermotor kecuali bagi penduduk setempat pada waktu ada upacara agama. Kendaraan pengganti bagi kegiatan sirlulasi di dalam kawasan pengembangan yang bebas polusi udara seperti kuda, sepeda, dan dokar (kereta kuda). Sedangkan bebas polusi tanah artinya dalam kegiatan pertanaian yang mana kegiatannya selalu mengolah tanah, menggunakan bahan-bahan alami seperti pupuk organik (tidak menggunakan pupuk/bahan kimia).

2. Konsep “Ajeg Bali”

Konsep “Ajeg Bali” disini maksudnya adalah mempertahankan budaya Bali seperti budaya Subak, kegiatan upacara agama (Panca Yadnya).

Keberadaan Subak dengan segala kegiatannya berdasarkan konsep Tri Hita Karana perlu dipertahankan dan dilestarikan,yaitu:

- Parahyangan adalah Pura Bedugul, Pura Ulun Suwi, Pura Ulun Danu yang tingkatannya lebih tinggi perlu dilesatarikan dan dipertahankan keberadaannya. Di samping itu untuk mempertahankan kesuciannya, perlu dikendalikan pemanfaatan lahan di sekitarnya.

- Pawongan adalah organisasi petani sawah yang anggotanya disebut karma subak. Mempertahankan petani/krama subak ini dengan member manfaat tambahan (nilai tambah) dari kegiatan bertani, di samping memperoleh hasil penjualan dari produktivitas pertaniannya.

- Pelemahan adalah lahan persawahan dimana kegiatan pertanian dilaksanakan. Lahan persawahan beririgasi teknis yang sudah ada harus tetap dipertahankan kalau perlu ditingkatkan pelayanan irigasinya.

-

3. Aksestabilitas

Dalam penataan suatu kawasan perlu dipertimbangkan factor aksestabilitas atau kemudahan pencapaian suatu fasilitas gunan kenyamanan penggunanya.

4. Fungsional

Fungsional artinya setiap komponen ruang yang direncanakan dapat berfungsi secara optimal.

5. Estetika/keindahan

Dalam penataan kawasan perlu diperhatikan agar tidak mengurangi nilai keindahan/estetika dari kawasan tersebut.

2.6 RENCANA PENGEMBANGAN

Rencana pengembangan mengacu pada konsep pariwisata kerakyatan. Tidak sekedar menciptakan obyek wisata untuk konsumsi wisatawan, tetapi lebih dalam mengkaji potensi local agar bisa dikembangkan menjadi daya tarik wistawan. Dalam hal ini masyarakat agraris sebagai pelaku utama yang diberi peluang untuk seluas-luasnya mengembangkan diri untuk dapat meningkatkan taraf hidup petani.

Konsep pariwisata kerakyatan mengarah pada pemberdayaan factor-faktor produksi pariwisata yang berkelanjutan, yaitu antara lain berupa factor alam, modal, sumber daya manusia, dan ketrampilan manajerial.

Dalam rencana tata letak kawasan rencana Bendungan Telaga Tunjung, komponen pembentuk ruang pengembagannya terutama mengankat potensi-potensi lokal baik itu berupa alam, budaya dan minat khusus seperti yang diuraaikan di bawah ini:

- Alam : Sawah terasering, bentang alam berbukit, alur Sungai Yeh Ho dan ank sungainya.

- Budaya: Seni budaya setempat, prosesi upacara agama, dan potensi kegiatan religious di kuburan Cina.

- Minat Khusus: Wisata Tirta, Wisata Agro, Camping Ground, Bale Subak Agung Area, dan minat terhadap seni.

2.7 POTENSI YANG DIMILIKI

Usaha pengembangan suatu kawasan untuk dapat dikembangkan menjadi obyek wisata dan daya tarik wisata dapat dikelompokkan menjadi 3 yaitu:

1. Pengembangan potensi alam

Pengembangan potensi alam yang merupakan usaha pemanfaatan sumber daya alam dan tata lingkungannya untuk dijadikan sasaran wisata. Adapun sasaran pengembangan kawasan sekitar Telaga Tunjung adalah berupa :

a. Sawah Terasering yang memiliki keindahan alam dari sawah yang berundak-undak dengan landscape yang alami, sistem pengaturan pengairan dengan sistem subak dan lain sebagainya.

b. Bentang alam dengan strutur tanah yang bergelombang sehingga menciptakan daerah yang berbukit-bukit kecil dan diselingi daerah yang datar di beberapa tempat. Keberadaan suangai-sungai besar cenderung membentuk lembah dan jurang yang cukup dalam yang menantang bagi para petualang.

c. Sungai(tukad) Yeh Ho adalah sungai utama yang mengalir ke Bendungan Telaga Tunjung. Keberadaan suangi sangat besar artinya bagi masyrakat sekitar, selain sebagai sumber air untuk kebutuhan sehari-hari sungai ini juga sebagai sumber pengairan sawah pada musim kemarau. Sungai ini masih banyak memiliki batu-batu endapan lahar yang telah terbentuk puluhan tahun dan tampak sampai ke permukaan sungai. Pada saat tersebut sungai dapat dilintasi dengan jalan berjalan kaki, tetapi pada musim hujan air sungai meninggi sehingga tidak lagi memungkin untuk dilalui. Maka dari itu untuk mempermudah dan menambha nilai keindahannya dapat dibuatkan jembatan penyeberangan.

2. Pengembangan potensi Budaya

Pengembangan potensi budaya merupakan usaha pemanfaatan seni budaya bangsa untuk dijadikan sasaran wisata. Sasaran utamanya adalah seni budaya yang dikembangkan masyarakat di wilayah pengembangan khususnya dan Tabanab pada umumnya.

a. Seni Budaya Setempat. Potensi seni budaya setempat yang dapat digali adalah kesenian yang tumbuh dan berkembang di wilayah pengembangan antara lain: seni topeng, drama Calonarang, Legong, Angklung, Gong, dan banyak lagi yang bisa dikembangkan.

b. Prosesi Upacara Agama. Salah satu kegiatan masyarakat Bali yang unik adalah prosesi upcara agama (Hindu). Dalam wilayah subak pun masyarakat petani melaksanakan upacara-upacara yang pada intinya mensyukuri apa yang dianugrahkan Ida Sang Hyang Widhi (Tuhan). Hampir segala kegiatan yang berkaitan dengan bercocok tanam di sawah didukung dengan pelaksanaan upacara. Mulai dari membuat empelan (bendunngan) yaitu upacara mapag toya, persembahan kepada Dewi Sri, memohon anugerah kepada Ibu Pertiwi, Dewa Indra, dan Dewa Wisnu, dalam kegiatan-kegiatan seperti mulai mencangkul, menanam padi, memlihara bibit, sampai akhirnya kegiatan memotong padi.

c. Kegiatan Religius di Kuburan Cina. Kegiatan religius khusus khas yang dilakukan oleh warga keturunan Tionghoa biasanya pada saat menjelang tahun baru Imlek antara lain: mengunjungi makam keluarga/leluhur, dengan melakukan prosesi yang mempunyai daya tarik tersendiri untuk diketahui.

3. Pengembangan Potensi Minat Khusus

Pengembangan potensi minat khusus merupakan usaha pemanfaatan sumber daya alam dan potensi seni budaya bangsa untuk menimbulkan daya tarik dan minat khusus sebagai sasaran wisata.

a. Wisata Tirta. Wisata Tirta yang dapat dikembangkan di kawasan pengembangan adalah yang berhubungan dengan keberadaan Bendungan Telaga Tunjung. Adapun kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan antara lain: naik canoe/perahu dayung, sepeda air, boat, dan memancing.

b. Wisata Agro. Selain kaya akan sawah terasering. Kawasan pengembangan juga menjadi daerah percontohan untuk pengembangan tanaman kakao. Hasil perkebunan yang juga banyak dibudidayakan pada kawasan adalah kopi, cengkeh, dan kelapa. Potensi ini dapat dikembangkan menjadi obyek daya tarik wisata agro, dengan memberdayakan subak abian yang ada.

c. Areal Bale Subak Agung. Keberadaan balai pertemuan Bale Subak Agung bagi Subak Agung Yeh Ho adalah sebagai simpul interaksi dari subak-subak yeh yang tersebar dari hulu sampai hilir Tukad Yeh Ho. Sebagai titik pertemuan organisasi subak dalam tingkat tertinggi, menjadikan kawasan sebagai sentral kegiatan. Untuk memperkuat dan menghidupkan keberadaan Bale Subak Agung, didukung pula oleh bangunan-bangunan seperti: museum pengairan, dan teater terbuka yang menyajikan wisata.

d. Minat Terhadap Seni. Masyarakat agraris di Bali selain disibukan oleh kegiatan bercocok tanam juga oleh kegiatan sosial religious, seperti kerja bakti di banajr, upacara keagamaan, kegiatan adat atau kegiatan lainnya. Untuk mendukung kegiatan-kegiatan tersebut sebagian masyarakat yang memiliki minat terhadap seni mengembangkan diri sesuai bakat yang dimiliki. Kesenian masyarakat ini bersifat persembahan, sebagai apresiasi diri terhadap Tuhan, sesama, dan alam lingkungannya. Karena itu perlu dicegah tindakan komersialisasi yang dapat melunturkan nilai-nilai luhur (taksu) yang terkandung di dalamnya. Pengembangan minat seni masyarakat dapat diarahkan pada pembentukan kelompok-kelompok seni, dengan tetap mengutamakan kesejahteraan bersama.

2.8 SARANA PENDUKUNG

1. Areal Parkir

Kawasan pengembangan direncanakan sebagai kawasan bebas polusi kendaraan. Dalam rangka mendukung citra tersebut, areal parkir kendaraan diposisikan pada daerah sebelum gerbang masuk kawasan. Dari areal parkir, pengunjung berjalan kaki atau menggunakan model transportasi yang lain (kuda, sepeda, dokar) menuju obyek daya tarik wisata yang diminati.

Areal parkir sendiri bagi kawasan adalah sebagai stimulan bagi perkembangan kawasan selanjutnya. Areal ini dibangun pada tahap awal pekerjaan pembangunan, dilengkapi dengan sebuah bangunan kantor pengelola. Dari kantor inilah diharapkan masyarakat mampu menuangkan ide-ide bagi pengembangan wilayahnya, dengan bantuan konsultasi dari pemerintah dan swasta (konsultan).

Akses masuk areal parkir dipisahkan dengan akses keluar untuk menjaga kelancaran arus sirkulasi kendaraan. Parkir kendaraan ditata sedemikian rupa dengan memperhatikan kenyamanan pengguna dan aksesibilitas yang baik bagi penyandang cacat. Hal tersebut dituangkan dalam penyedian unit parkir dengan ukuran yang lebih besar dari ukuran biasa bagi kendaraan penyandang cacat, akses langsung ke unit Kamar Mandi/WC yang dibuat khusus bagi penyandang cacat. Sirkulasi kendaraan dibuat sesederhana dan sejelas mungkin.

Dalam areal seluas 0,5 ha, retail-retail ditempatkan di pinggir areal parkir guna memaksimalkan aksesibilitas parkir. Selasar/pedestrian di sepanjang barisan retail dilengkapi taman dan pohon perindang yang mempunyai kerapatan massa daun tinggi, yang berfungsi sebagai peneduh untuk unit-unit parkir dan pinggir jalan.

Sebagai wantilan ditempatkan di sudut areal parkir sebagai tempat interaksi antar pengelola retail, selain sebagai tempat istirahat para sopir kendaraan. Massa bangunan wantilan yang terbuka dapat memberi jalan bagi pergerakan udara dari arah tenggara.

2. Gerbang Masuk Kawasan

Gerbang masuk kawasan difungsikan terutama untuk akses masuk pejalan kaki setelah melewati pos jaga/ ticketing. Sebagai tanda batas antara jalur yang bebas dilalui kendaraan dan yang tidak, dibuat polisi tidur landai dari paving block pada jalan antara gerbang masuk. Jalan masuk ke kawasan hanya boleh dilalui kendaraan pada saat-saat tertentu, seperti pada saat prosesi upacara, kedatangan tamu kehormatan serta bagi mobil yang berkepentingan dengan konstruksi proyek bendungan dan keamanan bangunan (ambulance dan pemdam kebakaran).

3. Jalan Masuk dan Jembatan Gantung

Dari gerbang masuk kawasan, pengunjung/wisatawan diarahkan berjalan melalui jalan melalui jalan dengan pohon-pohon peneduh yang rindang. Kemudian pandangan akan sampai pada genangan air yang luas pada bendungan. Bila wisatawan berjalan terus (tidak melalui jalan di badan bendungan), akan mencapai jembatan gantung yang menuju ke Pura Dalem Adat TelagaTunjung di seberang Tukad Yeh Ho.

4. Dermaga

Dermaga adalah sarana yang mendukung wisata tirta di Bendungan Telaga Tunjung. Terdapat tiga dermaga di tepi genangan yang mendukung keberadaan model transportasi perahu. Pemilihan tempat dermaga memperhitungkan segi keamanan dari seretan arus air sungai yang menuju spillway.

Di tempat ini wisatawan dapat menyewa perahu. Dengan perahu tradisonal (jukung) ini wisatawan dapat mengarungi danau, menikmati alamnya, dan menyeberang ke dermaga yang lain.

Bangunan dermaga yang terbuat dari bahan alami kayu dimaksudkan agar dermaga dapat menyatu dengan alam sekitarnya. Terutama untuk kolam penyanggan utama dipilih kayu yang tahan sekurang-kurangnya 10 tahun terendam dalam air yang mengalir.

Kolam penyangga utama ini menggunakan dasar dari pasangan batu kali untuk semaksimal mungkin mengurangi keterhubungan kayu dengan tanah. Untuk turun dari deck ke perahu, dibuat tangga dari kayu. Tangga ini bersifat fleksibel terhadap kemungkinan naik turunnya permukaan air bendungan.

Selain sebagai tempat menambatkan perahu, dermaga juga berfungsi sebagai tempat orang duduk-duduk memancing atau sebagai tepian bagi yang ingin berenang. Sebuah gazebo yang menjadi bagian dari dermaga berfungsi sebagai tempat berteduh dari panas dan hujan.

5. Areal Bale Subak Agung

Letak areal Bale Subak Agung strategis di sisi barat Bendungan Telaga Tunjung. Posisinya di dataran yang lebih tinggi dapat menangkap pandangan bebas ke arah genangan. Tata letak bangunan di bagi atas 3 bagian, yaitu:

Zona 1, yang bersifat publik mencakup bangunan-bangunan yang berfungsi sebagai pelayanan umum, seperti kantor, café, dan teater.

Zona 2, yang bersifat semi prifat mencakup museum pengairan, diorama subak dan gedung film yang mendokumentasikan segala sesuatu yang berkaitan dengan ilmu pertanian dan subak di Bali khususnya dalam media film.

Zona 3, berisi Pura Subak dan Bale Subak Agung sebagai tempat pertemuan Subak Agung. Dilihat dari sifatnya zona ini bersifat prifat dimana penggunanya adalah orang-orang yang berkepentingan dengan kegiatan organisasi subak, dan wisatawan hanya sebagai pengunjung.

Pencapaian ke areal Bale Subak Agung ini dari 2 gerbang utama. Salah satunya dari utara yang dapat dicapai melalui jalan subak dan langsung masuk ke zona 3. Pencapaian kedua dari selatan yang dapat dicapai dari jalan adat dan masuk ke zona 1. Dengan demikian diharapkan kedua kegiatan yang berbeda, yaitu kegiatan pengelolaan museum dapat dilaksanakan tanpa saling mengganggu.

Sebagai kawasan yang bebas dari polusi kendaraan, pencapaian ke areal Bale Subak Agung ini dilakukan dengan berjalan kaki, dengan kuda atau sepeda. Parkir kendaraan tersedia dekat gerbang masuk utama kawasan Bendungan Telaga Tunjung yang juga menyediakan fasilitas penyewaan kuda dan sepeda.

Berkedudukan sebagai titik pusat perhatian (point of interest) dari kawasan, areal Bale Subak Agung dibuat dengan citra arsitektur tradisional Bali yang serasi dengan alam. Terletak di tengah areal sawah dan perladangan, site tidak dibuat benar-benar terpisah dengan site lainnya. Sebagai transisi dibuat pedestrian di sekelilingnya. Konsep telajakan juga dikembangkan pada bagian depan kedua gerbang msuk dengan menyediakan ruang yang cukup untuk penambatan kuda dan sepeda. Penempatan barisan pohon dan tanaman berbunga indah pada ruang ini adalah sebagai ungkapan penyambutan bagi pengunjung.

Ruang dalam pada zona 1 dan 2 dibuat dengan konsep natah. Massa-massa bangunan diletakkan di tepi ruang terbuka (natah) di tengah. Pedestrian dibuat sebagai pengatur pergerakan terutama di zona 2, dimana pergerakan pengunjung diatur menurut alur cerita museum pengairan dan diorama subak.

Penataan lansekap site dibuat mengikuti pola toografi. Zona 1 sebagai daerah terendah dan zona 3 sebagai daerah tertinggi. Beda ketinggian pada pedestrian dibuat tanpa tangga, tetapi dengan ramp. Hal ini untuk mendukung pedestrian sebagai prasarana pembentukkan serial view yang nyaman dan aman.

6. Bale Subak Agung

Fungsi dari Bale Subak Agung adalah sebagai sarana kegiatan Subak Agung Yeh Ho. Kegiatan utama yang dilakukan adalah Pesamuan Agung dimana pada saat kegiatan tersebut dilaksanakan, pekaseh dari semua Subak Yeh Ho (104 subak) akan berkumpul dan bermusyawarah memecahkan masalah-masalah subak yang mereka hadapi.

Untuk dapat mendukung kegiatan ini, Bale Subak Agung dibuat memusat di tengah dengan ulu-teben yang jelas. Bangunan utama dibangun di tengah dengan menyediakan ruang kosong di sekitarnya guna mengantisipasi kekurangan ruang di dalam bangunan. Sebentuk panggung dibuat di daerah ulu sebagai tempat bagi pemimpin Pesamuan Agung dimana anggota yang lain dapat duduk mengelilinginya.

Selain sebagai pusat kegiatan pesamuan, Bale Subak Agung dapat digunakan sebagai sarana bagi kegiatan lain. Salah satunya adalah pada saat kegiatan upacara di Pura Subak, sebagai tempat para pengayah, melakukan kegiatan mebat atau mejejaitan. Kegiatan yang lainnya adalah kegiatan kesenian, seperti seni tari, tabuh, dan drama yang terutama dilakukan untuk mendukung kegiatan keagamaan di Pura Subak.

7. Museum Pengairan dan Diorama Subak

Dalam usaha mendukung keberadaan Bale Subak Agung, pada areal Bale Subak Agung terdapat Museum Pengairan dan Diorama Subak. Wisata pengetahuan yang dipamerkan dalam Museum Pengairan adalah mengenai pengembangan sumber daya air di seluruh nusantara, dimulai dari prasasti Belitung abad IX sampai abad XIX, sampai pada bagaimana pemerintah Republik Indonesia menerapkan sistem pengembangan sumber daya air modern abad XX.

Sedangkan Diorama Subak, menampilkan tampilan diorama (gambar dan patung 3 dimensi) adat dan budaya masyrakat agraris di Bali dalam lingkup aktivitas Subak.

Selain itu terdapat juga Gedung film dimana wisatawan dapat menonton film dokumentasi usaha-usaha masyarakat dalam mengembangkan sumber daya air misalnya melalui pembuatan terowongan (di Jawa Barat dan di Bali), embung di NTB yang dikerjakan secara tradisional dan tempat-tempat lain di Indonesia.

Beberapa bangunan seperti curator, bagian pemeliharaan, mekanikal, elektrikal dibangun untuk mendukung kegiatan dalam museum. Terdapat juga Balai Pelatihan yang bersifat serbaguna. Di tempat ini para wisatawan yang memiliki minat di bidang pengembangan sumber daya air, dapat menikmati diskusi dan kegiatan lain, misalnya organisasi dunia internasional Comitee for Irrigation and Drainage.

8. Teater Terbuka

Dengan fungsi sebagai sarana kegiatan pertunjukkan di ruang teater terbuka, teater ini memiliki kapasitas 250 penonton. Memiliki 2 jenis paggung, yaitu panggung tepi dan panggung tengah. Kedua panggung dapat digunakan bersamaan sesuai dengan kebutuhan pementasan dimana masing-masing memiliki karakter yang khas. Panggung tengah yang melingkar terutama digunakan untuk pementasan yang memerlukan interaksi yang dekat dengan penonton. Pada saat yang bersamaan panggung tepi dapat digunakan untuk gamelan, atau instrumen musik yang lain.

Tempat duduk penonton berupa podium melingkar yang memungkinkan pandangan bebas ke arah panggung. Terdapat selasar baik di bawah maupun di atas yang dihubungkan dengan tangga di empat tempat. Selasar di bagian atas adalah tempat ideal untuk memandang danau/bendungan. Ditambah lagi dengan adanya akses ke Bale Bengong dan Bale Kulkul pada susut site teater.

Terdapat kolam teratai di tepi panggung tengah. Adapun fungsinya tidak hanya meningkatkan nilai elastic, tapi juga untuk meredam gema dari suara yang datang dari panggung.

Pertunjukkan dapat dilakukan pada siang dan malam hari. Untuk mengurangi terik sinar matahari di siang hari, lasekap teater semaksiml mungkin member ruang pada penanaman pohon/tanaman. Di sepanjang sisi atas odium dihias dengan pergola yang ditumbuhi dengan tanaman merambat. Tanaman ini juga ditata pada lengkungan-lengkungan yang terbuat dari susunan bata (di samping Candi Bentar). Keberadaan pohon/tanaman juga mendukung nilai magis pada pertunjukan yang dilakukan pada malam hari.

Pintu masuk ke site teater adalah dari angkul-angkul yang menghubungkan teater dengan site museum. Karena jarak pencapaian yang cukup jauh, dirancang penataan serial view yang menarik dan penerangna yang baik. Sedangkan untuk pintu keluar adalah melalui angkul-angkul yang menuju ke pedestrian luar.

9. Pesanggrahan

Salah satu pilihan sarana akomodasi bagi wisatwan yang ingin menginap adalah pesanggrahan. Beberapa pesanggrahan dibangun di rumah penduduk yang memiliki cukup lahan dengan bantuan dana dari badan pengelola kawasan. Pengelolaan pesanggrahan itu kemudian menjadi tanggung jawab penduduk yang menjadi tuan rumah, bekerja sama dengan badan pengelola.

Tiap unit pesanggrahan terdiri atas ruang tidur, kamar mansi, dan pantry yang idealnya dihuni oleh satu atau dua orang. Bahan bangunan dipilih dari bahan-bahan alami antara lain: batu untuk pondasi, batu bata untuk dinding, kolam dan rangka atap dari kayu, serta atap dari genteng.

Konstruksi bangunan menggunakan kaedah-kaedah arsitektur tradisional Bali dengan tambahan-tambahan yang tidak mengganggu estetika. Bahan bangunan dipilih jelas yang cukup baik serta diekspos pada bagian dinding dan langit-langit.

Dari denah bila kemudian tersedia dana dapat dikembangkan (lihat gambar denah pengembangan) dengan tambahan berupa shower dengan atap terbuka dan gazebo di depan teras atau pengembangan lain sesuai tuntutan kebutuhan pengguna (wisatawan).

10. Kampung Tradisional

Sebuah daerah di sebelah utara bendungan Telaga Tunjung yang bernama Palemahan Meru-Meru diarahkan berkembang menjadi perkampungan tradisional yang mengikuti kaedah-kaedah penataan ruang dan massa bangunan arsitektur Bali. Untuk menciptakan suasana perkampungan yang tradisional, selain perlu diperhatikan penataan bangunan juga penataan jalan lingkungan yang tetap menjaga citra kampung tradisional yang alami.

11. Petualangan

Kawasan pengembangan di sekitar Bendungan Telaga Tunjung direncanakan sebagai kawasan yang tertata secara alami dan menjaga kelestarian alam. Alam yang berbukit, hamparan sawah, perkebunan rakyat, dan genangan bendungan menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatwan yang menyukai petualagan. Beberapa kegiatan yang dilakukan antara lain:

a. Tracking dan hiking

Kegiatan ini biasan dilakukan oleh orang yang membutuhkan penyegaran pikiran dari penatnya pekerjaan. Jalur-jalur yang dipilih adalah yang berpemandangan alami dan indah. Berjalan kaki dapat menyehatkan badan dan menambah pengenalan kita terhadap lingkungan alam. Kegiatan para petani di sawah dan di kebun dapat menarik keingintahuan wisatawan yang melakukan tracking. Untuk memberi akses ke tengah persawahan, bagi wisatawan dibuatkan pematang yang sedikit di perkeras dengan susuna batu atau bata dan dengan kubu sebagai persinggahan. Wisatawan yang tinggal cukup lama juga dapat diajak turut aktif dalam pengerjaan sawah, pembersihan hama, dan memanen hasil pertanian. Bagi wisatawan yang mencari tantangan yang lebih berat hiking dapat dilakukan dengan melintasi jalan berbukit di dalam kawasan.

b. Menginap di Camping Ground dan Pesanggrahan

Bagi kelompok wisatwan atau siswa/mahasiswa yang berniat menginap disediakan camping ground dan pesanggrahan. Kedua pilihan tersebut memiliki karakter yang serupa tetapi dengan fasilitas yang berbeda. Berkemah di camping ground membawa wisatwan pada petualangan di alam bebas beratapkan langit.

Kegiatan terutama dilakukan di sekitar kemah, dekat dengan sungai dengan fasilitas-fasilitas antara lain: keran umum yang terletak di dekat lahan perkemahan dan Kamr mandi/WC yang terletak agak jauh. Untuk pesanggrahan adalah semacam home stay yang menyediakan ruang tidur, kamar mandi dan pantry.

c. Wisata Agro

Kegiatan wisata agro bagi wisatawan dapat dilakukan dengan beragam cara. Mulai dari memetik langsung hasil pertanian dan perkebunan, melakukan penganganan awal seperti pengupasan dan penjemuran sampai pada pengelolan akhir, seperti megolah biji kopi menjadi kopi bubuk, mengolah kelapa menjadi minyak, dan sebaginya bahkan bisa sampai pada pengolahan limbahnya. Yang menarik dalam kegiatan ini bila diterapkan teknologi tepat guna, baik itu yang tradisional maupun modern, dengan mengutamakan mutu hasil olahan.

d. Berkuda

Petualagan yang juga tidak bisa dilewatkan adalah berkuda mengelilingi kawasan. Model transportasi kuda yang dapat disewa di areal parkir adalah kuda tunggangan dan dokar. Bagi yang sudah terbiasa berkuda kuda tunggangan dapat dikendarai melalui jalur-jalur khusus yang tersedia, sedangkan yang belum berpengalaman dapat memilih dokar.

e. Masakan Khas Daerah

Berwisata tak lengkap tanpa mencoba masakan khas daerah yang dijual di warung-warung dan café di areal Bale Subak Agung. Masakan dibuat dari bahan-bahan yang aman (non pestisied) sehingga terjamin kesehatannya.

f. Wisata Tirta

Wisatawan yang berminat menikmati wisata tirta di Bendungan Telaga Tunjung dapat memanfaatkan fasilitas dermaga yang tersedia di tigas sisi danau. Di dermaga ini kemudian dapat menyewa perahu dan dan berlayar ke tengah danau. Pemandangan alam di sekitar genangan bendungan dapat dinikmati dari perahu. Yang paling menarik adalah Pura Campuhan Luhurwani yang terletak di arah timur aut. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah memancing. Kekayaan isi danau berupa ikan air tawar berasal dari tiga aliran sungai yang ditampung oleh bendungan, yaitu: Tukad Yeh Ho, Tukad Mawa, dan Pangkung Buah.

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan potensi yang dimiliki bendungan telaga tunjung di kabupaten Tabanan, yang memiliki tujuan dalam pembangunannya untuk mensejahterakan masyarakat yang ada disekitar bendungan tersebut secara khusus dan tabanan secara umum. Maka dari itu dilihat dari potensi yang dimiliki daerah sekitar telaga tunjung dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pariwisata maka dibuatkanlah sebuah perencanaan yang matang agar terwujud pariwisata yang mampu menjaga kelestarian lingkungan, meningkatkan pendapatan penduduk atau masyarakat sekitar (ekonomi) tanpa merusak tatanan sosial dan budaya yang ada pada kehidupan masyarakat tersebut. Untuk itu direncanakanlah sebuah pariwisata yang berbasis kerakyatan, dimana sejak perencanaan sampai pembangunan masyarakat sekitar dilibatkan sehingga adanya keterbukaan atau transparansi antara pihak pememrintah sebagai pihak yang membuat kebijakan, investor yang menyandang dana dan masyarakat sebagai pelaku pariwisata pada nantinya.

Agar pariwisata tersebut tetap dapat dinikmati oleh generasi sekarang dan generasi penenrus maka pariwisata kerakyatan tersebut haruslah berpatokan pada pariwisata berkelanjutan tanpa merusak lingkungan ekologinya, meningkatkan perekonomian rakyat dan mempertahankan sosial budaya yang ada. Untuk mengembangkan pariwisata kerakyatan yang berkelanjutan, 3 komponen penting yaitu: pemerintah, investor dan masyarakat local/setempat haruslah memiliki pemikiran yang sama dalam menjaga sumber daya yang ada tetap lestari sehingga sumber daya tersebut dapat dinikmati dalam jangka waktu yang lama dan tidak ada pengerusakan lingkungan sebagai penghasil sumber daya tersebut.

Oleh sebab itu pemerintah sebagai pemberi kebijakan haruslah bijaksana dalam membuat kebijakan yang dapat mementingkan orang banyak, dalam hal ini masyarakat sebagai pelaku pariwisata secara langsung dan dalam menerima para investor agar lebih berhati-hati. Untuk investor sebaiknya tidak hanya mementingkan keuntungan sendiri tetapi memiliki pemikiran untuk tetap menjaga lingkungan, ekonomi dan sosial budaya yang ada di daerah tersebut. Dan terakhir, masyarakat setempat/lokal harus tetap menjaga keajegan daerahnya, jangan hanya tergiur oleh keuntungan sesaat tetapi harus tetap memikirkan kelestarian dan keberlanjutan dari daerah pariwisata tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2006. Pariwisata berkelanjutan: Prinsip-Prinsip Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan. http://www.p2par.itb.ac.id.

Anonim. 2008. Bali dan Pariwisata. http://www.baliprov.go.id.

Dirjen Sumber Daya Air Bali. 2003. Studi Pengembangan Kawasan Rencana Bendungan Telaga Tunjung Kabupaten Tabanan. PT Rancang Semesta Nusantara, Denpasar

Pitana, I Gede dan Putu G. Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. CV. Andi Offset, Yogyakarta.

Rukendi, Cecep. 2006. Menemukan Kembali Konsep Pariwisata Budaya Indonesia. Jurnal Kepariwisataan Indonesia, Volume I.

Sari, Ika Kusuma Permana. 2006. Pengembangan Desa Wisata dalam Konteks Pariwisata Berbasis Kerakyatan. Jurnal Kepariwisataan Indonesia, Volume I No. 2.

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Sukana, Made. 2005. Sikap dan Perilaku Masyarakat Kelurahan Ubud, Kabupaten Gianyar, Terhadap Wisatawan Cina. Tesis Tidak Diterbitkan, S2 Kajian Pariwisata, Program Pasca Sarjana, Universitas Udayana.

Yoeti, Oka A. dkk. 2006. Pariwisata Budaya Masalah dan Solusinya. PT Pradnya Paramita, Jakarta.

Yoeti, Oka A.. 2008. Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata. PT Pradnya Paramita, Jakarta.